KHUTBAH JUM’AT
MASJID RAYA AT-TAQWA KOTA CIREBON
17 OKTOBER 2025
Oleh: H. Didin Nurul Rosidin
SEBAIK-BAIKNYA BEKAL ADALAH TAQWA
Khutbah I
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الْمُنْعِمِ عَلَى مَنْ أَطَاعَهُ وَاتَّبَعَ رِضَاهُ، الْمُنْتَقِمِ مِمَّنْ خَالَفَهُ وَعَصَاهُ، الَّذِى يَعْلَمُ مَا أَظْهَرَهُ الْعَبْدُ وَمَا أَخْفَاهُ، الْمُتَكَفِّلُ بِأَرْزَاقِ عِبَادِهِ فَلاَ يَتْرُكُ أَحَدًا مِنْهُمْ وَلاَيَنْسَاهُ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى مَاأَعْطَاهُ. أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةَ عَبْدٍ لَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِي اخْتَارَهُ اللهُ وَاصْطَفَاهُ. اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّا بَعْد
أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوا اللهَ ، وَتَفَكَّرُوْا فِي نِعَمِ رَبِّكٌمْ وَاشْكُرُوْهُ، وَاذْكُرُوا آلَاءَ اللهِ وَتَحَدَّثُوا بِفَضْلِهِ وَلَا تَكْفُرُوْهُ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وقال ايضأ
وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Puji dan syukur selalu dan setiap saat kita haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, kita bisa berkumpul dalam keadaan suci, di tempat yang suci dan untuk melaksanakan ibadah yang suci. Sholawat dan salam selalu kita sampaikan kepada junjungan sekaligus suri tauladan sempurna kita, Nabi Agung Muhammad SAW yang syafa’atnya sangat kita harapkan kelak di akhirat.
Mengawali khutbah ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, kapanpun dan dimanapun kita berada serta dalam kondisi bagaimanapun dengan cara melaksanakan segenap kewajiban dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Hidup di dunia ini hanyalah sebuah perjalanan sementara, dimana setiap detik yang kita Jalani akan berlalu dan tidak akan kembali serta hanya akan kita temui lagi pada saat dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Sang Hakim Yang Maha Adil. Kesadaran akan sifat kesementaraan hidup ini seyogyanya menjadi pijakan utama cara berfikir kita tentang hidup sekaligus menjadi sumber motivasi dalam mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan yang abadi di akhirat. Sebaik-baik bekal yang harus kita siapkan adalah takwa. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqoroh ayat 197
وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya “Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.
Tentang ayat ini, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah pernah berkata, “Bekal yang sebenarnya yang tetap mesti dipersiapkan di dunia … adalah takwa. Ini adalah bekal yang mesti dibawa untuk negeri akhirat yang kekal abadi. Bekal ini dibutuhkan untuk kehidupan sempurna yang penuh kelezatan di akhirat dan negeri yang kekal abadi selamanya. Siapa saja yang meninggalkan bekal ini, perjalanannya akan terputus dan akan mendapatkan berbagai kesulitan, bahkan ia tak bisa sampai pada negeri orang yang bertakwa (yaitu surga). Inilah pujian bagi yang bertakwa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 92). Senada dengan pernyataan di atas, Syekh Al-Qasimi berkata, “Persiapkanlah ketakwaan untuk hari kiamat (yaumul ma’ad). Karena sudah jadi kepastian bahwa orang yang bersafar di dunia mesti memiliki bekal. Musafir tersebut membutuhkan makan, minum dan kendaraan. Sama halnya dengan safar dunia menuju akhirat juga butuh bekal. Bekalnya adalah dengan ketakwaan pada Allah, amal taat dan menjauhi berbagai larangan Allah. Bekal ini tentu lebih utama dari bekal saat safar di dunia. Bekal dunia tadi hanya memenuhi keinginan jiwa dan nafsu syahwat. Sedangkan bekal akhirat (takwa) akan mengantarkan pada kehidupan abadi di akhirat.” (Mahasin At-Ta’wil, 3: 153. Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 10: 125)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Lantas apa itu taqwa? Mari kita lihat pada perbincangan dua sahabat Nabi yang agung, Umar bin Khattab RA yang nanti tercatat dalam tinta emas sejarah Islam menjadi khalifah kedua setelah khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, dengan Ubay bin Ka’ab, sahabat Nabi yang berasal dari kalangan Anshar yang pertama masuk Islam melalui Ba’ah Aqobah II sekaligus salah seorang pencatat Al-Qur’an pada masa diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Kita semua tahu bahwa perbincangan para sahabat adalah sebaik-baik perbincangan. Mereka tak memperbincangkan sesuatu kecuali kebaikan. Tak ada diskusi yang sia-sia. Jarang muncul perdebatan tentang sebuah perkara, melainkan banyak percakapan soal amal sholeh. Itulah mengapa perbincangan mereka sering menjadi rujukan tentang hakikat kehidupan Muslim yang baik termasuk tentang taqwa.
Perbincangan dua sahabat agung tentang taqwa ini dimulai dengan pertanyaan yang diajukan oleh Umar bin Khattab kepada Ubay bin Ka’ab “Wahai Ubay, apa makna taqwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” Ubay lanjut bertanya “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?”. Umar menjawab, “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat taqwa.”
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Jelas terlihat bagaimana perbincangan dua sahabat agung ini sarat penuh akan makna, ilmu dan pedoman hidup. Perbincangan ini sangat bermanfaat tidak hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita semua yang mengaku manusia bertaqwa ini atau paling tidak terus berupaya untuk menjadi taqwa. Dari perbincangan tersebut jelas bahwa menjadi orang bertaqwa pada hakikatnya adalah berusaha menjadi orang yang amat berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT. Ia rela mengerem lajunya dalam urusan dunia yang fana, memangkas egonya yang memuaskan nafsu syahwatnya, menajamkan pandangan untuk melihat yang haq, menelisik sekitar, dan mencari celah jalan selamat. Semua fungsi tubuh ia maksimalkan agar ia tak celaka agar tidak ada sebiji duri pun melukai bagian tubuhnya kemudian mengucurkan darah darinya. Taqwa hakikatnya berjalan dengan hati-hati. Ia akan fokus kepada hal-hal yang bermanfaat, sebagaimana Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan olah Abu Hurairah RA pernah menyatakan
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ)). حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهَ هَكَذَا
“Rasululah SAW bersabda, ‘Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya’.” [Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Dalam setiap saat termasuk khutbah Jum’at, kita selalu diingatkan dan diajarkan tentang makna taqwa dan mengapa taqwa sangat penting bagi kehidupan kita yang semenjana ini. Taqwa secara defenitif adalah menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Definisi yang sudah puluhan tahun kita dengarkan dan mungkin hafal. Namun, bagaimanakah implementasinya? Sudah sejauhmana upaya kita untuk mencoba mewujudkan karakter taqwa tersebut? Atau sebaliknya apakah justru kita menjadi pribadi yang malas-malasan menjalankah perintah Allah SWT dan terus memupuk rasa penasaran untuk justru mencoba apa yang dilarang Allah? Inilah mengapa setiap khutbah Jum’at, para khotib terus mengingatkan baik di awal maupun di akhir khutbahnya agar kita terus saling mengingatkan dan menasehati. Allah SWT berfirman:
وَالْعَصْرِاِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ۙاِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya, “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugianl, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal Sholeh, saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran”.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Setiap zaman tentu saja berbeda tantangan dan persoalannya. Tapi yang pasti tidak ada kehidupan yang dijalani manusia tanpa masalah dan cobaan. Justru sebaliknya masalah dan cobaan merupakan bagian dari bagaimana Allah menyaksikan siapa hambanya yang sungguh-sungguh dan siapa hambanya yang sebaliknya. Hidup di zaman yang serba terbolak-balik saat ini, kita memerlukan tameng berupa akal sehat dan kebersihan hati nurani agar kita tetap “waras, selalu terjaga, waspada dan berhati-hati’. Kita hidup pada saat banyak orang yang dengan tanpa rasa bersalah dan terus mencari pembenaran untuk meruntuhkan norma, etika dan hukum, bagaimana orang-orang besar tanpa ragu mengakali rakyatnya, bagaimana orang dengan penuh percaya diri menunjukkan rasa suka terhadap sesama jenis dan perlahan-lahan masyarakat menganggapnya sebagai kenormalan baru, bagaimana orang menganggap minuman keras dan hal-hal yang memabukkan sebagai gaya hidup yang dibanggakan dan bagaimana institusi pernikahan yang tercerai berai menjadi komoditi untuk diliput media guna membangun citra diri di depan publik.
Ketaqwaan dan keimanan tidak dapat dipisahkan. Keduanya melebur dalam pikiran, hati dan jiwa manusia yang paripurna di sisi Allah SWt. Menjadi orang bertakwa sekaligus beriman adalah berusaha keras menggenapi apa saja prasyaratnya. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqoroh: 177,
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
Artinya, “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Taqwa yang bukan hanya sebatas slogan akan membekas dalam jiwa seseorang. Ia akan menjadi filter yang akan menyaring setiap ada “zat asing” masuk ke dalam hati. Taqwa juga sekaligus menjadi karakter. Ia akan memandu sesesorang untuk secara otomatis mengerti mana saja jalan yang boleh ia tempuh maka yang ia harus hindari. Seperti kesimpulan Umar saat berbincang dengan Ubay. Umar RA menyimpulkan, “Taqwa adalah panduan untuk berjalan di jalan yang penuh dengan duri dengan hati-hati.”
Semoga kita semua tetap berada dalam hidayah-Nya agar kita bisa mewujudkan prinsip dan nilai ketaqwaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
Khutbah II
الْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر









