Ringkasan Khutbah Jumat Masjid at-Taqwa Kodya Cirebon
23 Agustus 2019
Kesadaran dalam Keragaman dan Menghilangkan Sikap Rasis
Oleh Dr. Hajam, M.Ag
(Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, Dan Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Allah swt berfirman: Wahai manusia sesungguhnya Kami (baca: Allah) telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan jenis perempuan dan Kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah siapa yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Q.S. al-Hujarat/49:13)
Sebab-sebab turunya (asabul nuzul) ayat di atas berkenan dengan dua peristiwa. Pertama peristiwa rasis yang dialami Sahabat Bilal Bin Rabah pada saat Nabi Muhammad saw mengangkatnya sebagai Muadin pertama di masjid Madinah yang sekarang Masjid Nabawi. Mulanya ada seseorang yang protes kepada Nabi Muhammad saw dan menolaknya apabila Bilal Bin Rabah diangkat menjadi Muadin karena Bilal dipandang berkulit hitam yang berasal dari Etopia Afrika Selatan tidak layak untuk menjadi muadin. Kedua, peristiwa pada saat Nabi Muhammad saw menikahkan seorang budak bernama Abu Hindin dengan suku Bani Bayadoh, sebagian sahabat tidak setuju atas pernikahan tersebut dengan alasan Abu Hindin seorang budak.
Dari dua peristiwa tersebut kemudian turunlah Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 kepada Nabi Muhammad saw untuk memberi petunjuk dan pedoman kepeda ummatnya dalam pergaulan dalam berbagai lintas dan berinteraksi sosial agar menghilangkan sikap yang berkecenderungan sikap rasis kepada suku lain. Ayat tersebut mengandung nilai-nilai kesetaraan dan persamaan dari berbagai lintas, baik jenis kelamin, suku, agama, dan bangsa. Ayat tersebut menunjukkan kepada kita akan keragaman sebagai bentuk dari kekuasaan Allah swt atau dengan kata lain keanekaragaman suku, budaya, bahasa, agama, bangsa dan lain lain merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Apabila ada yang tidak mengakui keragaman berarti orang tersebut tidak mengakui kekuasaan Allah. Adanya keragaman sebagai kekuasaan Allah agar manusia untuk saling kenal mengenal, bukan untuk membangun kubu-kubuan atau blok-blokan sehingga timbul benturan dan saling tabrakan. Semua manusia apa pun latar belakanganya dihadapan Allah menduduki derajat yang sama, adapun yang membedakanya hanyalah dengan taqwa.
Indonesia adalah negeri yang dianugrrahi Allah swt akan berbagai keragaman suku, budaya, agama, bahasa, dan lain-lain, sudah barang tentu di dalamnya sarat perbedaan pandangan, visi dan misinya Berbagai keanekaragaman di bumi Indonesia ini justru harus dikelola dengan baik dan bersinergi dalam rangka suatu program strategis untuk menjadikan kekuatan dan ketahanan nasional berbasis kerukunan. Adapun yang perlu dibangun untuk penguatan ketahanan nasional berbasis kerukunan dengan melakukan silaturahmi antar berbagai komponen bangsa dan memiliki kesadaran keanekaragaman serta menjauhi sikap rasis yang berdampak negative pada kelangsungan kerukunan dalam keragaman. Keanekaragaman harus diterima sebagai kekayaan nasional, selama ini ukuran kekayaan hanya pada dipandang pada kekayaan alam, keanekaragaman pun dipandang sebagai sumber kekayaan nasional kita. Apabila keanekaragaman dipandang sebagai kekayaan nasional maka kita tertuntut untuk menjaga dan melestarikanya. Keanekaragaman di bumi Indonesia ini harus kita syukuri sebagai kekayaan nasional. Tugas kita tinggal menghidupkan semangat untuk saling mengenal, saling menghormati dan menghargai.
Berbagai pendapat dalam keanekaragaman yang ada di bumi Indonesia ini tidak dikemas dalam bentuk pembedaan dan pertikaian untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang, tetapi adanya perbedaan dijadikan rangsangan untuk mengetahui dan menemukan khazanah yang terkandung dalam keanekaragaman. Potensi-potensi konflik dalam perbedaan harus dirubah dengan paradigma kesepahaman dalam keanekaragaman, bukan dengan kesalapahaman karena akan menyimpan potensi konflik. Boleh jadi berbagai konflik vertikal dan horizontal terjadi di wilayah agama, sosial, budaya dan lainya merupakan akibat dari kesalapahaman. Kesalapahaman amat cepat menimbulkan sikap negatif kepada pandangan yang datang dari pihak luar, tanpa sempat mengklarifikasi atau mempertanyakan kemungkinan ada segi kebenaranya apa yang datang dari pihak luar itu, pada akhirnya dalam konteks sosial secara nyata akan memiskinkan pandangan komunitas itu sendiri. Kesalapahaman timbul akibat dari ketidaktahuan atau ketidakmengertian satu pihak atas dirinya dengan pihak lain yang seterusnya mengakibatkan terjadinya ketegangan.
Merujuk pelajaran dari ulama klasik dalam mengemas perbedaan dengan pendekatan kesepahaman bukan dengan kesalapahaman seperti yang dilakukan ulama besar klasik yang kita kenal dengan empat Mazhab Besar, yaitu Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali dan masih banyak Mazhab lain. K.H Muhammad Hasyim Asy’ari, tokoh dan pendiri NU menyebutkan ribuan perbedaan pendapat dalam empat Mazhab dalam bidang Fiqh Islam. Perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Imam Malik jumlahnya tidak kurang dari Empat Belas Ribu masalah, Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan gurunya Imam Malik jumlahnya tidak kurang dari Enam Ribu masalah, demikian juga antara Imam Ahmad Ibn Hanbal dan gurunya Imam Syafi”i terdapat banyak perbedaan dan selisih paham, namun mereka semua tetap mengedepankan sikap kesepahaman dengan menunjukkan saling bersahabat dan tetap menggalang persaudaraan tanpa umpatan atau saling menyesatkan apalagi saling mengkafirkan.