Resolusi Ishlah (Rujuk Masa ‘Iddah)
Melalui Tafsir al-Misbah dan Maqashid al-Syari’ah
- Resolusi Melalui Tafsir al-Misbah
Dalam al-Qur’an, setidaknya ayat yang membahas tentang rujuk dan dijadikan sebagai dasar rujuk yakni Q.S. al-Baqarah ayat 228 juga 231, yakni pada lafadz “وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ” ayat 228 dan lafadz “وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍۗ” ayat 231, sehingga disini penulis hanya akan membahasnya melalui dua lafadz tersebut menurut tafsir al-Misbah.
Pada lafadz “وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ” yang artinya “Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan”. Menurut Quraish Shihab bahwa “Lebih berhak” (اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ) dari segi redaksional dipahami sebagai adanya dua pihak atau lebih yang masing-masing memiliki hak, walaupun salah satu pihak memiliki hak melebihi pihak lain. Namun demikian, menurut Quraish Shihab di kalangan ulama tidak memahami redaksi itu dalam pengertian redaksional tersebut. Mereka memahaminya dala arti “Berhak”, dengan alasan bahwa wanita yang dicerai secara raj’i, hanya suaminya sendiri yang memiliki hak kembali kepada istrinya, orang lain atau istrinya tidak memiliki hak sedikitpun. Quraish Shihab berpendapat bahwa ketentuan di atas disebutkan karena dalam keadaan talak raj’i suami masih memiliki kewajiban terhadap istri yang dicerainya sampai habis masa ‘iddahnya. Maka istri tidak berhak untuk menolak bila suami ingin kembali rujuk dengan tujuan membina rumah tangga lagi. Begitu juga dengan pria lain tidak boleh meminangnya saat masa ‘iddah.[1]
Sedangkan dalam kata “وَبُعُوْلَتُهُنَّ” (suami mereka) yang dimaksud mereka adalah istri yang ditalak raj’i, walaupun mereka ditalak, namun tidak merubah status keduanya sebagai suami istri karena masih ada ikatan dan kewajiban masing-masing, istri yang dicerai berkewajiban menanti, sedangkan suami yang menceraikan berkewajiban memberi nafkah. Pada intinya, makna secara redaksional ayat di atas dapat dipahami juga dengan hak suami dalam hal rujuk kepada istri meski istri sesungguhnya tidak ingin membina rumah tangga lagi dengan suaminya selama masa ‘iddah. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa tujuan rujuk itu juga untuk niat memperbaiki hubungan mereka berdua (suami istri). Niat untuk memperbaiki itu juga bukan lah syarat, tetapi demikian itulah yang seyogyanya terjadi. Kemudian Quraish Shihab memberi tahu bahwa para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Suami punya hak untuk rujuk dan istri juga punya hak diperlakukan secara ma’ruf, yakni sesuai dengan tuntunan agama, sejalan dengan akal sehat, serta sesuai dengan sikap orang berbudi. Dan dipertegas dengan mendahulukan penyebutan hak mereka atas kewajiban mereka (yakni walahunna dari ‘alaihinna), dalam lafadz وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ” “عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ (para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf) sebagai penegasan tentang hal tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu diperhatikan.[2]
Selanjutnya pada lafadz “وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرِّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍۗ” (Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) ‘iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula)). Quraish Shihab mengatakan betapapun, baik rujuk maupun cerai, semua harus dilakukan dengan ma’ruf, yakni dengan keadaan baik serta terpuji. M’aruf disini adalah batas minimal dari perlakuan yang dituntut atau yang wajib dari suami yang menceraikan, sedangkan pada ayat 229 adalah dengan ihsan “أَوْتَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ” (atau menceraikan dengan cara yang baik). Dan pada ayat 230 adalah batas yang terpuji yang dianjurkan dan melebihi kewajiban. Karena itu pula, dalam ayat 231, perintah minimal itu disusul dengan larangan minimal pula, yakni janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Siapapun yang melakukan hal itu berarti telah menganiaya dirinya sendiri.[3]
- Resolusi Melalui Maqashid al-Syari’ah
Seperti kita ketahui bahwa hadirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia, sebagai landasan serta menciptakan nilai-nilai kebaikan di tengah-tegah permasalahan hukum bagi umat Islam di Indonesia, tentunya setiap aturan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), dalam hal ini pasal 164 dan 165 pastinya mempunyai alasan, yang mana alasan tertentu tidak akan lepas daripada tujuan ditetapkannya sebuah hukum Islam atau yang dikenal dengan Maqashid al-Syari’ah. Kemudian apabila kita bicara tentang Maqashid al-Syari’ah yaitu tujuan ditetapkannya hukum berarti kita bicara tentang kemaslahatan (al-Maslahah), karena tujuan awal ditetapkannya sebuah hukum syara’ yaitu kemaslahatan (Li al-Maslahahl al-Ummah). Selanjutnya dalam perbincangan hak rujuk yang dimiliki suami sedangkan istri menolak untuk dirujuk. Dilihat dari Q.S. al-Baqarah ayat 228:
…)وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا(…
Artinya: “….Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan (Ishlah)……”
Lafadz “اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا” mengisyaratkan bukan untuk penganiayaan dalam rujuk. Dapat dipahami dalam ayat ini yang dibincangkan bukan kata menolaknya istri untuk dirujuk tetapi sisi kebaikannya. Dalam artian menolaknya istri untuk dirujuk demi kemaslahatan kehidupannya kedepan (al-Maslahah Li al-Mustaqbal). Sehingga apabila istri menolak rujuk suami karena alasannya akan mendatangkan kemudharatan di masa akan datang dengan dibuktikan beberapa indikator sebelumnya dan apabila dipaksakan rujuk sehingga tidak akan tercapai substansi maqashid syariah, bahkan akan mendatangkan masalah atau mudharat. Sebagaimana di dalam beberapa kitab tafsir diterangkan bahwa “ishlaha” dalam Q.S. al-Baqarah ayat 228 tersebut adalah untuk suami istri, bukan salah satu pihak saja. Jika “ishlaha” hanya untuk satu pihak saja, maka hak rujuk yang dimiliki oleh suami itu justru menjadi hilang, bahkan haram bagi suami melakukan rujuk tersebut. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, menjelaskan bahwa lafadz “اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا” menunjukkan bahwa rujuk itu “disyariatkan dengan syarat adanya maksud untuk memperbaiki bukan mendatangkan mudharat” (Masru’atun bi Syarti Qosdi Ishlahi Halihi Ma’aha, La al-Dhororo).[4] Apabila suami mendatangkan kemudharatan dan memperpanjang masa iddah istrinya sehingga ia terkatung-katung, yang demikian itu diharamkan dan suami telah berbuat dzalim, karena firman Allah SWT “Wala Tumsikuhunna Dhiroron Lita’tadu”.
Berdasarkan alasan di atas, rujuk hanya dapat dilakukan jika didasari atas niat baik untuk membina kembali kerukunan dan kedamaian rumah tangga. Sebab, kerukunan dan kedamaian keluarga hanya dapat terwujud setelah adanya kerelaan istri yang dirujuk. Oleh karena itulah secara otomatis, rujuk yang tidak disetujui oleh istri yang tidak dapat dilaksanakan. Karena persetujuan istri lah yang bisa mengantar menuju tercapainya substansi Maqashid al-Syari’ah yaitu kemaslahatan (al-Maslahah). Dalam dunia ushul fiqh menolak mafsadah (Dar al-Mafasid) lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan(Jalb al-Mashalih). Dari kaidah ini, dapat disimpulkan bahwa hak perempuan jauh lebih diutamakan karena istri lah yang mengetahui maslahat dan mafsadahnya sendiri bukan orang lain, bukan ibu ataupun bapaknya. Senada dengan penjelasan dari awal bahwa kasus menolak rujuk ini yang mengetahui timbulnya mudharat adalah seorang istri, bukan orang lain dan mudharat itu harus dihilangkan, seperti dalam kaidah:
الضَّرَرُيُزَالُ
Artinya: “Kemudharatan harus dihilangkan”[5]
Dengan demikian, dalam analisis penulis, perspektif KHI bahwa istri boleh menolak rujuk dengan alasan yang diterima oleh Pengadilan Agama karena bertujuan menghindari mafsadah yang akan terjadi ke depan. Jadi, apabila hak perempuan menolak rujuk ini dilihat perspektif Maqashid al-Syari’ah, maka hal ini termasuk pada tingkatan al-Dharuriyyat. Al-Dharuriyyat merupakan keadaan di mana suatu kebutuhan wajib untuk dipenuhi dengan segera, jika diabaikan maka akan menimbulkan suatu bahaya yang beresiko pada rusaknya kehidupan manusia, seperti halnya penjelasan Imam al-Syatibi, bila tingkat kebutuhan al-Dharuriyyat ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia.[6] Oleh karena itu istri menolak rujuk ini tergolong tingkatan al-Dharuriyyat karena apabila rujuk tetap dilaksanakan, maka akan menimbulkan mafsadah kepada istri tersebut seperti halnya kehidupan yang selalu tidak tenang karena pertengkaran akibat watak suami yang tidak baik sehingga membuat istri tersebut stres, kekerasan kepada istri yang berkelanjutan, atau bahkan akan terjadi pembunuhan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya tingkatan al-Dharuriyyat yang memiliki lima unsur pokok dalam memelihara dan mencapai tujuan hukum atau yang dikenal dengan “al-Majmu’ al-Dharuriyyat/al-Dharuriyyah al-Khamsah” yaitu yaitu (1) urusan agama (hifdz al-Din), (2) urusan jiwa (hifdz al-Nafs), (3) urusan akal (hifdz al-‘Aql), (4) urusan keturunan (hifdz al-Nasl), dan (5) urusan harta milik (hifdz al-Mal).[7] Selanjutnya, apabila hak perempuan menolak rujuk dilihat dari lima unsur pokok memelihara tujuan hukum, maka tergantung dari sebab akibat atau yang menjadi alasan seorang istri menolak rujuk suaminya. Dalam hal alasan istri tersebut bisa termasuk pada Hifdz al-Din seperti halnya suami yang tidak bisa memimpin keluarga menurut aturan agama yang baik bahkan bisa menyesatkan istri, melarang istri melakukan ibadah dan lain sebagainya. Selain dari Hifdz al-Din, menolaknya istri dalam rujuk ini bisa termasuk pada Hifdz al-Nafs apabila akan terjadi pembunuhan, karena alasan istri tersebut berdeda-beda. Namun, ketika perempuan menolak rujuk suami, maka pertimbangan pasal KHI yaitu konsep maslahah yang terkandung di dalamnya. Istri menolak rujuk semua itu hanya untuk ketenangan hidupnya ke depan untuk mendapatkan hasil terbaik dari keputusan yang diambil.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1,Cet. Ke 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Hlm. 489.
[2] Ibid., Hlm. 490.
[3] Ibid., Hlm. 499.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,Jilid 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009),Hlm. 696.
[5] Nash Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, Cet. Ke-1, Penj. Wahyu Setiawan, (Jakarta: CV. Amzah, 2009), Hlm. 17.
[6] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II, (t.kp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th), Hlm. 8.
[7] Ibid.









