“Membatasi Keinginan, Meraih Kebahagiaan” Oleh : Drs. Abdul Basit, M. Ag. (Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)

Mei 8, 2025 | Artikel Islam

“Membatasi Keinginan, Meraih Kebahagiaan”

Oleh : Drs. Abdul Basit, M. Ag.
(Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang maha pengasih lagi maha penyayang. Dia yang menciptakan dunia sebagai tempat ujian, bukan tujuan. Dia berikan kita kehidupan, rezeki, dan nikmat yang tiada tara, namun Dia juga yang uji kita dengan syahwat dan keinginan yang terus membara. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan hati kita tunduk kepada-Nya, bukan hamba dari keinginan duniawi yang fana.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang telah mengajarkan bahwa kekayaan bukanlah pada banyakya harta, tetapi pada hati yang merasa cukup.

Di zaman ini, manusia hidup dalam arus deras keinginan yang tiada henti. Keinginan untuk kaya, terkenal, berkuasa, dihormati, dipuji-semua itu menggoda hati. Tidak salah memiliki cita-cita dan usaha, tetapi bila keinginan tidak dibatasi dengan iman dan kesadaran spiritual, maka ia akan menjadi sumber penderitaan yang tiada ujungnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin memiliki dua lembah. Dan tidak ada yang dapat memenuhi (mengenyangkan) mulut anak Adam kecuali tanah. Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menggambarkan betapa berbahayanya sifat tamak. Nafsu tidak mengenal kata puas. Ketika satu keinginan terpenuhi, muncul keinginan lain. Begitu seterusya, hingga manusia tidak pernah merasa tenang.

Dalam tasawuf, ada konsep yang sangat penting: zuhud. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Dunia di tangan boleh, tetapi jangan sampai masuk ke hati. Zuhud adalah kemampuan membatasi keinginan, hidup dengan cukup, dan bersandar hanya kepada Allah.

Dalam masyarakat modern, pencapaian sering menjadi tolok ukur kebahagiaan. Sayangnya semakin tinggi seseorang mengejar sesuatu yang bersifat materi dan status, semakin tinggi pula tekanan dan ketidakpuasan yang muncul.

Orang-orang kini lebih mudah tidak merasa cukup. Mereka merasa harus punya yang terbaru, yang tercanggih, yang paling mahal. Namun, ketika keinginan terus bertambah tanpa batas, maka kebahagiaan akan semakin menjauh.

Manusia harus hidup sadar dan mengenali batas antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah hal-hal mendasar yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup dengan bahagia dan sehat. Sementara itu, keinginan yang muncul karena pengaruh lingkungan, iklan, atau gengsi sosial sering kali bersifat tidak perlu dan beresiko menciptakan penderitaan.

Ibnu Athaillah dalam Al Hikam berkata: “Sebaik-baik waktu dalam hidupmu adalah saat engkau merasa fakir di hadapan Allah, dan hina di sisi-Nya.” Mengapa? Karena saat itulah hati kita paling jernih dari ambisi dunia dan paling dekat dengan cahaya ilahi.

Di era digital saat ini, media sosial memperparah siklus keinginan tanpa akhir. Fitur-fitur yang menampilkan kesuksesan orang lain secara berlebihan kerap membuat pengguna terjebak dalam perbandingan sosial. Tak sedikit yang merasa harus selalu meningkatkan gaya hidupnya demi terlihat berhasil. Pola pikir seperti ini menyebabkan kelelahan emosional dan krisis identitas. Padahal ketenangan justru datang dari menerima hidup secara apa adanya, bukan terus-menerus mengejar lebih.

Keinginan tanpa batas akan menciptakan penderitaan tanpa akhir menciptakan refleksi mendalam bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli atau dikumpulkan, tetapi lahir dari dalam diri. Di tengah tekanan hidup modern, belajar untuk mengendalikan keinginan bisa menjadi kunci untuk hidup yang lebih damai dan bermakna.

Kebahagiaan tidak terletak pada pemenuhan keinginan, tetapi pada kemampuan membatasi dan mengendalikan keinginan. Orang yang hidup dengan qana’ah-merasa cukup dengan apa yang Allah beri-dia akan hidup dengan tenteram.

Orang bijak bukanlah yang punya segalanya, tetapi yang tahu kapan harus berhenti mengejar sesuatu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang paling kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu pula dalam menghadapi keinginan duniawi, kekuatan sejati ada pada kemampuan membatasi diri.

Mari kita latih hati kita untuk tidak selalu meminta lebih, tetapi belajar bersyukur atas yang ada. Tanamkan keyakinan bahwa apa yang ditakdirkan untuk kita, tak akan meleset, dan apa yang bukan bagian kita, tak akan pernah sampai.

Follow Sosial Media At Taqwa :

Berita Terkait

Bacaan Doa Sholat Tahajud Lengkap dengan Terjemahannya

Bacaan Doa Sholat Tahajud Lengkap dengan Terjemahannya

Bacaan doa sholat tahajud sering jadi pelengkap di tengah malam yang sepi, saat hati butuh tenang dan jiwa ingin lebih dekat ka Gusti Allah. Tahajud itu ibadah sunah yang luar biasa, bisa jadi waktu paling istimewa buat curhat sama Allah tanpa gangguan. Ari urang...

Menahan Diri dari Menyakiti Sesama oleh H. Amin Iskandar, Lc., M.Ag (Pengurus At-Taqwa Centre / Kepala Rumah Tahfizh At-Taqwa)

Menahan Diri dari Menyakiti Sesama oleh H. Amin Iskandar, Lc., M.Ag (Pengurus At-Taqwa Centre / Kepala Rumah Tahfizh At-Taqwa)

MENAHAN DIRI DARI MENYAKITI SESAMA Oleh, Amin Iskandar, Lc, M.Ag (Ketua Rumah Tahfidz  Quran  At-Taqwa Kota Cirebon)   اَلْحَمْدُ لِلهِ رب العالمين. وَهُوَ الأَوَّلُ الَّذِي لَيْسَ قَبْلَهُ شَيْئ, وَهُوَ الآخِرُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ شَيْئ, وَهُوَ الظَّاهِرُ الَّذِي...

Pin It on Pinterest

Share This