Oleh : Inang Winarso
(Wakil Ketua Dewan Cabang Syarikat Islam Kota Cirebon)
Ruang rawat inap rumah sakit tidak lagi dipenuhi oleh orang sakit. Tetapi lebih sering digunakan untuk kuliah calon dokter dan penelitian penyakit di masa depan dan bagaimana cara mencegahnya secara dini. Puskesmas bukan lagi tempat warga antri berobat tetapi berubah menjadi pusat informasi kesehatan masyarakat (PIKM) sehingga warga bergegas belajar cara menjaga tubuh agar tetap sehat. Pasien tidak lagi melamun menunggu dokter datang. Tetapi dokter mengunjungi rumah warga memantau kesehatannya dan segera ambil tindakan jika ada yang sakit agar tidak makin parah. Bidan tidak lagi sibuk melayani kehamilan dan persalinan tetapi lebih sering jadi penyuluh kesehatan reproduksi khususnya bagi perempuan. Perawat tidak lagi bolak-balik mengganti kantung infus. Tetapi berkeliling kampung bersama kader kesehatan menggerakan warga agar selalu mengonsumsi pangan bergizi, menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan. Dan melatih masyarakat agar trampil merawat lansia dan disabilitas.
Itulah masyarakat dengan derajat kesehatan yang sangat tinggi. Seandainya benar terjadi betapa hebatnya pemimpin kita dalam memenuhi hak kesehatan warga. Apalagi jika ditambah dengan makin sulitnya bertemu pengemis dan gelandangan di jalan. Serta disempurnakan dengan sikap toleran dan religius pemimpin dan rakyat. Sebuah potret kehidupan idaman setiap orang.
Namun semua itu hanya mimpi. Lihat berapa banyak orang yang masih sakit? Entah bagaimana mulanya para ahli dan pemimpin lebih senang mengumpulkan data kematian. Padahal kematian adalah hak prerogratif Tuhan. Menurut pandangan spiritual angka kematian tidak bisa digunakan untuk menilai kinerja pembangunan. Gunakanlah angka kesakitan sebagai indikator mengukur keberhasilan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Angka Kesakitan
Menurut Sistem Informasi Rujukan Statistik (Sirusa) BPS definisi angka kesakitan atau morbiditas adalah gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan, atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Pada umumnya keluhan kesehatan utama yang banyak dialami oleh penduduk adalah panas, sakit kepala, batuk, pilek, diare, asma/sesak nafas, sakit gigi dan lainnya. Orang yang menderita penyakit kronis dianggap mempunyai keluhan kesehatan walaupun pada waktu survei sebulan terakhir yang bersangkutan tidak kambuh penyakitnya. Indikator ini dapat dimanfaatkan untuk mengukur tingkat kesehatan masyarakat secara umum yang dilihat dari adanya keluhan yang mengindikasikan terkena suatu penyakit tertentu. Ringkasnya definisi tersebut adalah persentase penduduk perkotaan dan perdesaan yang mempunyai keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir dan mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2017 sampai 2019 diketahui angka kesakitan di Indonesia sebesar 14,13 persen tahun 2017 dan naik menjadi 15,38 persen di 2019. Sedangkan Jawa Tengah lebih tinggi yaitu sebesar 16,01 persen di 2017 dan naik menjadi 16,88 persen di 2019.
Kota Tegal lebih parah keadaannya di tahun 2017 angka kesakitan sebesar 18,76 persen dan naik menjadi 21,50 persen di 2019. Kabupaten Tegal lebih baik meski di atas angka nasional yaitu 18,07 persen di tahun 2017 dan berhasil turun menjadi 15,59 persen di 2019. Kabupaten Brebes meskipun berhasil menurunkan angka kesakitan dari sebesar 21,56% pada 2017 menjadi 19,73 persen pada 2019 namun angkanya masih di atas Jawa Tengah dan Nasional.
Angka kesakitan ini jarang dipublikasikan dan tidak pernah dijadikan acuan untuk mengukur kinerja seorang presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati dan Kepala Dinas Kesehatan di semua level. Padahal indikator tersebut sangat berhubungan erat dengan alokasi anggaran sektor kesehatan.
Dampak paling nyata akibat tingginya angka kesakitan adalah terkurasnya dana BPJS Kesehatan hingga defisit terus sejak 2014 sampai 2019 karena harus bayar klaim pengobatan pasien. Padahal rakyat sudah diminta iuran setiap bulan tetap saja uangnya kurang. Akhirnya rakyat diperas lagi dengan cara iuran dinaikan untuk menutupi defisit tersebut.
Pemerintah berdalih bahwa biaya pengobatan semakin membesar dan rakyat yang kaya diminta berkorban untuk mensubsidi rakyat yang miskin. Kalau jalan pikiran pemerintah demikian lalu apa gunanya ada pemerintah? Mengapa semua para pemimpin tidak bekerja untuk menurunkan angka kesakitan? Bukankah cara yang paling efektif untuk menghapus defisit BPJS Kesehatan adalah dengan memprioritaskan pencegahan penyakit? Apakah slogan lebih baik mencegah daripada mengobati sudah terbalik menjadi lebih baik mengobati daripada mencegah?
. Apakah pemimpin di pusat, di daerah dan tenaga kesehatan saat ini sedang “bercumbu” dengan pemilik pabrik farmasi sehingga semakin banyak obat yang diresepkan akan berbuah keuntungan yang bisa dinikmati “bersama”? Dan membiarkan masyarakat makin banyak yang sakit? Apakah pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya di bidang kesehatan?
Pertanyaan di atas belum ada jawabannya. Kita tunggu saja penjelasan pemerintah. Kini saatnya rakyat mengutamakan pencegahan daripada pengobatan. Rempah dan ramuan tradisional alami bisa digunakan sebagai salah satu metode untuk menjaga kesehatan dan imunitas agar terhindar dari penyakit, sambil merawat lingkungan agar tetap bersih.
Kita berharap pemerintah akan mengubah strategi pembangunan kesehatan untuk menurunkan angka kesakitan menjadi dibawah 5 persen dalam waktu singkat. Semoga ada pemimpin yang berani menetapkan target tersebut. Sehingga mimpi masyarakat sehat segera jadi kenyataan.