JELAJAH MASJID KUNO KOTA CIREBON

Nov 26, 2020 | Kegiatan Attaqwa Cirebon

Jelajah Masjid Kuno  Kota Cirebon

Oleh : Syaeful Badar, MA

“Secara etimologi berasal dari kata guru, yang artinya orang yang patut dimuliakan, pembimbing (spirItual).Pengguron berasal dari kata Paguran artinya sekolahan atau perguruan. Pengguron merupakan salah satu institusi Islam tertua di nusantara yang sudah ada sejak tahun 1418 M”.

Gagasan, Wisata Religi Jelajah Masjid Kuon, sebagai penguatan karakter sejarah Islam di Cirebon. Banyaknya masjid-masjid kuno menguatkan Cirebon sebagai puser bumi pemancar dakwah Islam di nusantara, kehadiran Syekh Quro dan Syekh Nurjati sebagai guru besar penata agama ing bumi Caruban Nagari, yang mengajarkan Islam kepada keluarga Kerajaan Pajajaran, dari mulai Prabu Siliwangi, Nyi Mas Subang Larang, Nyimas Rarasantang, Walangsungsang dan Kian Santang, membuat Islam di Kerajaan Pajajaran semakin memancar cahaya Islam.

Bermula dari “Pengguron” lembaga pendidikan klasik yang terdiri dari adanya bait antara rama guru dengan muridnya, Tajug buat ruang belajar, Witana buat tempat istirahat murid dan belajar tarekat syatariyah, pengguron berkembang menjadi pusat pengajaran dan pondok pesantren dengan nama pengguron pasambangan jati, terus berkembang menjadi pedukuhan Lemahwungkuk, berlanjut menjadi Keraton Pakungwati yang kini menjadi Keraton Kesepuhan Cirebon.

Sejalan dengan perkembangan perdagangan dan ekonomi di pelabuhan muara jati, padukuhan Lemahwungkuk berkembang dan meluas dengan di bangunnya Keraton Pakungwati oleh Walangsungsang yang Pangeran Cakrabuana, atas anjuran dari Syekh Nurjati sepulang Walangsungsang dari ibadah haji, maka atas anjuran untuk meluaskan wilayah dakwah, Walangsungsang mendirikan pusat pengembangan ekonomi dan dakwah dengan mendirikan Masjid Pejlagrahan di samping Keraton Pakungwati.

Bumi Caruban Nagari berkembang menjadi GRAGE atau Negara Gede dengan meluasnya pelabuhan Muara Jati menjadi Bandar Pelabuhan Internasioan, menjadi pusat lalu lintas ekonomi pelayaran Nusantara dan Asia, sampai kemudian Panglima Cheng Ho diplomat internasional dari Tiongkok berlabuh dan membantu membangun menara di pelabuhan Muara Jati, sebagai simbol persahabatan antara Tiongkok dengan Caruban Nagari, jejak Panglima Cheng Ho ternyata di kalangan para petani di kawasan lereng Gunung Ciremai, sangat terkenal sebagai orang yang mengajarkan cara bercocok tanam menjadi, hal ini di buktikan dengan adanya prasasti Cheng Ho di Desa Cibuntu Kabupaten Kuningan, bahkan para orang tua menyebut Cheng Ho sebagai Baba Ho.

Bumi Caruban Nagari semakin berkembang ketika Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya kepada mantu yang juga keponakan anak dari Nyi Mas Rarasantang atau Syarifah Mudaim, anak Prabu Siliwangi yang meniah dengan Sultan Mesir Pangeran Abdullah. Yaitu Syekh Syarif Hidayatullah, atau yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati sekitar abad ke 14. Saat di pimpin oleh Sunan Gunung Jati maka Caruban Nagari Menjadi Kesultanan Islam Cirebon, lebih muda 5 tahun dengan Kesultanan Islam Demak. Dua Kesultanan Islam di pulau Jawa inilah yang kemudian menjadi pusat dakwah Islam para wali di Nusantara dengan istilah Wali Sanga. Kesultanan Islam Demak di pimpin oleh Sultan Raden Fatah dan Kesultanan Islam Cirebon di pimpin oleh Sultan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dalam catatan sejarah Syekh Syarif Hidayatullah adalah satu satunya Sultan atau Raja dan Ulama di Nusantara, sehingga sebutannya Sultan dan Sunan, sultan untuk gelar kerajaan, sunan untuk gelar bagi para wali yang menyebar dakwah Islam.

Sebagai penguatn karakter dakwah Islam di Kesultanan Cirebon, tradisi membangun Tajug (ditata lan di jugjug) atau masjid dilanjutkan oleh Sunan Gunung Jati, sebab setelah Kesultanan Demak memabngun Masjid Agung, maka tidak lama di Kesultanan Cirebon di bangun Masjid Pakungwati dengan melibatkan Sunan Kalijaga dan Raden Sepat, masjid yang konon di bangun dalam satu hari, melibatkan 500 prajurit utama Kesultanan Demak dengan menggunakan Pedati Gede sebagai alat transportasi pengangkut kayu jati dari Pelabuhan Muara Jati menuju Keraton Pakungwati, maka setelah masjid tersebut terbangun di berinama Pakungwati, yang merupakan anak Pangeran Cakrabuana dan istri dari Sunan Gunung Jati.

Tradisi membangun masjid terus berkembang ketika sepupu Sunan Gunung Jati dari Mesir, Syekh Syarif Abdurahman, mendirikn Masjid Abang di kawasan Kampung Arab Panjunan yang merupakan kawasan tempat tinggal para pedagang dan ulama dari timur tengah, Tidak jauh dari lokasi Masjid Abang di bangun juga Masjid Jagabayan yang semula adalah tempat pos penjagaan para prajurit keraton yang bertugas jaga, yang saat itu prajurit berjaga dan bertugas 24 jam, sehingga para prajutit perlu tempat untuk melaksanakan sholat lima waktu, hingga kini Masjid Jagabayan ramai di kunjungi masyarakat. Sebelum Tajug Agung atau Majid Raya At Taqwa di bangun oleh Bupati Cirebon Salman Salmon Suryadiningrat pada tahun 1905, sebelum sudah ada Masjid Pangeran Kejaksan yang juga sepupu Sunan Gunung Jati, mendirikan Masjid dengan Nama Pangeran Kejaksan, hingga kini masjid tersebut masih terawat dengan baik dan bersih. Masjid-masjid kuno di Kota Cirebon walaupun usia sudah lebih dari 500 tahun, namun kondisi fisik masih kokoh dan terawat dengan baik, serta masih menjadi magnit bagi para wisatawan, karena masjid-masjid kuno itu dianggap masih memancarkan keberkahan, magnit inilah yang membuat banyak orang yang berkunjung.

Wisata Religi Jelajah Masjid Kuno, yang di gagas oleh Masjid Raya At Taqwa Kota Cirebon, akan mengajak para jamaah untuk menelusuri jejak :

  1. Mesigit Pejlagrahan

(Mesjid yang di bangun di samping keraton Pakungwati ini memiliki keunikan sumber air yang tidak pernah habis kendati di musim kemarau dan menjadi sumber air bersiha bagi masyarakat di sekitar, nama Pejlagrahan artinya Sumber Air)

  1. Mesigit Pakungwati

(Masjid yang di bangun oleh Sunan Gunung Jati, kini lebih terkenal dengan nama Sang Cipta Rasa, memiliki ke unikan karena adanya Azan Pitu yang di kumandangkan setiap menjelang Sholat Jum’at, pintu masuk ke ruang utama dengan cara menunduk. Serta masih banyak menyimpan rahasia yang masih belum terungkap)

  1. Mesigit Abang Panjunan

(Masjid yang memiliki warna merah ini menjadi ciri khas arsitektur tersendiri, bentuk yang unik inilah sehingga banyak belum di ekspos, Masjid di bangun di kawasan Kampung Arab Panjunan, sehingga sampai hari ini kita bisa melihat bangunan rumah rumah kuno yang masih terawat dengan baik)

  1. Mesigit Jagabayan (Masjid yang semula tempat pos jaga para prajurit Kesultanan Cirebon, memiliki ciri khas adanya sedekah minyak goreng yang biasa di bawa oleh masyarakat ke masjid, sangat ramai setiap kamis sore, kenapa dinamakan jagabayan, ada cerita apa tentang sedekah minyak goreng ? )
  2. Mesigit Pangeran Kejaksan

(Masjid yang berdiri megah di tengah pusat kota Cirebon, kendata sudah berusia 5 abad, namun nuansa masjid kuno masih khas dan terlihat di setiap ornamen dan bangunan yang ada, masjid ini di bangun oleh sepupu Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Kejaksan, juga memiliki sumber air bersih yang jernih dan tidak payau)

Jelajah Masjid Kuno, dimulai dari Tajug Agung atau Masjdi Raya At Taqwa dengan menggunakan MOBIL WISATA CITROS akan melintasi jalur kota tua, seperti Pelabuhan Cirebon, Klenteng Pelabuhan, Riol Pintu Air, Gedung Bank Mandiri, Gedung Bank Indonesia, Gedung Kantor Pos, TITIK NOL Kilo Meter Cirebon, Pergudangan, Kawasan Jalan Pantura yang bangun Daendels, Gereja Tertua jalan Yos Sudarso, Gedung Bundar di Alun-Alun Kebumen, Gedung Pabrik Rokok Terbesar di Asia Tengara PT.BAT, Kawasan Panjunan, Keliling ke pusat-pusat pertokoan jalan Pasuketanm, Jalan Pekiringan, Jalan Pandesan, Jalan Pagongan, Jalan Sukalila dan Pasar Pagi. Masjid Raya At taqwa Kota Cirebon, wisata religi jelajah masjid-masjid kuno menjadi ikon baru pariwisata di kota Cirebon. Amin.*******

Follow Sosial Media At Taqwa :

Berita Terkait

Gema Shalawat Menggaung di Attaqwa

Gema Shalawat Menggaung di Attaqwa

CIREBON, attaqwacirebon.com - Sudah sekian lama kurang lebih 8 tahun Attaqwa tidak menggelar event besar semacam Festival atau lainnya. Ini ekses dari Pandemi Covid 19 yang dampaknya masih terasa hingga kini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Cirebon sukses menggelar...

Pin It on Pinterest

Share This