Universalisme Islam adalah salah satu alasan mengapa semua persoalan apapun yang berkembang dalam kehidupan manusia sudah terdapat secara umum dalam Islam. Tidak hanya persoalan yang terkait dengan ritual murni tapi hampir seluruh aspek kehidupan sosial manusia. Abdul Wahab Khalaf (Ilmuan metodologi hukum Islam) misalnya membuat satu statemen bahwa, Islam yang diformulasikan oleh Al Quran, secara substansi memuat tiga ajaran besar yang beliau sebut sebagai al Itiqodiyah, (persoalan Akidah), al amaliyah (persoalan, Amaliyah ) dan al khuluqiyah (persoalan etika/Moral). Lebih jauh Khalaf secara rinci memetakan aspek al amaliyah memuat dua hal yaitu al ibadat dan al muamalah, yang dalam poin muamalah inilah beliau menemukan jawaban, bahwa semua hal yg terkait dengan sosial kemanusiaan ada dalam Islam, perdata, pidana, politik, tatanegara, hukum international dan termasuk di dalamnya konsep dasar ekonomi Islam, yang belakangan menjadi salah satu studi yang banyak diperbancangkan dalam pemikiran Islam. Bahkan secara spesifik belakangan ekonomi Islam ini merupakan bagian dari subsistem dari pemikiran Islam.
Sebagai salah satu sub pemikiran, ekonomi Islam membawa kecenderungan baru yang tidak dimiliki oleh sub-sub pemikiran lainnya, yang tampaknya sangat dibutuhkan dalam rangka membuat ajaran-ajaran Islam lebih fungsional pada kehidupan modern. Ekonomi Islam diyakini banyak pengamat kontemporer merupkan system ekonomi yang akan lebih memiliki ketangguhan di era pertarungan global mengahadapi fluktuasi apapun, salah satu faktor yang menjadi daya dukung teori itu adalah karena teologi yang di dianut oleh ekonomi Islam bersifat transenden dan eternal dan bersifat skral )dari wahyu Tuhan(, hal ini berbeda dengan landasan filosofis ekonomi manapun di dunia seperti kapitalis, sosialis. Landasan filosofis sebuah banguan ekonomi tampaknya punya kontribusi sangat penting dalam menentukan resistensi sistem ekonomi terhadap berbagai tantangan dan ancaman krisis dalam perjalanan sejarahnya.
Jika kita melakukan studi secara mendalam terhadap esensi Al Quran, maka bisa ditemukan beberapa ajaran dasar tentang ekonomi Islam. Dalam perspektif Al Quran, falsafah yang paling fundamental dari ekonomi Islam adalah Tauhid. Hakikat tauhid adalah penyerahan diri secara totalitas, holistik dan komprehensip kepada kehendak Tuhan, baik menyangkut hubungan vertikal (ibadah) maupun horizontal (muamalah), dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sinergis dengan kehendak Tuhan.
Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas manusia khususnya umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya, stabilitas tauhid akan sangat berpengaruh terhadap kwalitas hidup, kualitas amal dan kualitas ibadah seorang Muslim dalam menjalankan misinya sebagai “wakil” Tuhan di muka bumi, wal hasil tanpa tauhid maka seluruh aktifitas manusia muslim dinilai rapuh dan tidak bermakna keshalehan, dan tidak bernilai investasi secara ukhrawi. Dalam konteks inilah Tauhid bisa di sebut sebagai fondasai yang terpenting dari sebuah kontruksi keislaman manusia. dan konstruksi tentu saja tidak akan bisa tegang scara kokoh tanpa ada fondasi. Demikian halnya dengan aktifitas ekonomi, jika tercerabut dari akar ketauhidan maka akan menjadi ekonomi yang tanpa kendali dan liar.
Perbincangan Sekitar Falsafah Ekonomi Islam
Terkait dengan konsep falsafah ekonomi Islam, patut dicermati kerangka pemikiran seorang tokoh muslim moden seperti Ismail Raji Al-Faruqi yang populer dengan gagasan Islamisasi Sience, dalam satu statemenya yang menarik:
, “It was al-tawhid as the first principle of the economic order that created the first walfare state and Islam that institution alized that first socialist more for social justice as well as for the rehabilitation from them tobe desdribed in trems of the ideals of contemporary western societes”.
“(Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islamlah yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak upaya ke arah keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini)”.
Statemen itu memberikan pesan eksplisit bahwa tauhid harus menjadi fondasi dari seluruh bangunan konsep ekonomi. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan tauhid, landasan filosofis ini pulalah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, yang keduanya cenderung lebih didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme.
Dengan kerangka pemikiran tersebut, maka konsep tauhid menjadi dasar kebijakan ekonomi yang paling penting, tidak berlebihan jika secara epistemoligis dapat disebut sebagai teologi ekonomi Islam. Teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, sekurang kurangnya mengajarkan dua pokok utama :
Pertama, Teologi Ekonomi Islam bermakna bahwa Allahlah yang menyediakan sumber daya alam sangat banyak dan tak terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak dan tak terbatas ”unlimited” itu untuk kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain dalam perspektif teologi Islam, berlimpahnya sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, pesan moralnya dapat ditemukan dalam firman Allah, (QS:14:34)
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).“
Pandangan tersebut di atas tentu saja sangat kontras dan bertolak belakang dengan gagasan ekonomi konvensional (baik ideologi kapitalisme maupun sosialisme) yang cenderung dominan menganut jargon bahwa sumber daya alam itu terbatas (limited). Karena itu menurut teologi ekonomi Islam, krisis ekonomi yang di alami suatu negara, tidak disebabkan oleh karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), wal hasil pada akhirnya muncul ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
Cukup banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros ( in efensisiensi/mubadzir) dan serakah (khirshu) dalam menggunakannya. In efensisesi adalah bagian dari prilaku setan yang merugikan secara ekonomi (QS. 17:35)
وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ إِذَا كِلۡتُمۡ وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلٗا
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
dan serakah adalah bagian dari perilaku hewan yang tidak menguntungkan. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan, itulah sebabnya eksploitasi, eksplorasi alam yang melampai batas kewajaran dianggap sebagai kejahatan ekonomi dalam pandangan Islam dan masuk katagori (eko terorisme).
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang tinggi.
Eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya alam dengan prinsip ”Aji mumpung” serta me ”mutlak” kan waktu hari ini, tanpa memikirkan dampaknya terhadap masa depan dan generasi baru adalah bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Jika prinsip itu dianut secar massif maka artinya sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia, yang jelas sangat bertentangan dengan pandangan teologi ekonomi Islam. Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu dengan menafikan generasi panerus..
Kedua, Teologi Ekonomi Islam yang bermakna Tauhid, berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). dan hanya Dia yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, perolehan rezki dan sebagainya (rububiyah). Manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sebagai trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktifitasnya, termasuk aktifitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya yang bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga yang bersifat etis dan moral (uluhiyah). Berdasarkan ini maka asumsi terhadap manusia bersifat positif dan kegiatan ekonomi tidaklah ditujukan untuk memenuhi kepuasan manusia yang tidak terbatas. Selanjutnya, konsep tauhid juga berarti bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145),
Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
(yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?” Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar,
dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Juga terdapat dalam (QS. 16: 10-16)
Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya),
Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,
(Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.
Dari kerangkan pemikiran tersebut tampak jelas tentang konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dan manifestasi dari ajaran tauhid. konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas sebagimana dianut secara kuat dalam masyarakat kapitalis. Doktrin ini ini tentu saja berimplikasi positif bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Doktrin egalitarianisme seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis dan hedonistis, seperti yang kita lihat fenomena sekarang ini bahwa era globalisasi dalam sektor ekonomi, tidak saja berimbas positif terhadap peningkatan kemakmuran negara-negara dunia ketiga –termasuk Indonesia– di sisi lain justru menimbulkan gejala deviasi etika ekonomi, demoralisasi prilaku ekonomi dan dehumanisasi di semua sektor. Sehingga dikhawatirkan akan memicu munculnya kapitalisme baru. Indikator ke arah itu dapat terlihat dengan menajamnya diskriminasi antar kelompok (kaum pemilik modal dengan kelompok marginal). Pandangan pandangan seperti ini jelas tidak dibenarkan dalam pandangan teologi ekonomi Islam yang cenderung mengedepankan prinsip kooperatif dan hak yang sejajar dalam kehidupan ekonomi..
Perlu di pertegas kembali bahwa meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, hanya saja tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting sekaligus berdanpak significant terhadap perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pesan pesan moral yang terkandung dalam statemen itu paling tidak termuat dalam beberapa poin antara lain:
Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29).
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara menyeluruh (universal). Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, dinilai bertentangan dengan prinsip teologi ekonomi Islam yang mengedepankan keadilan dan keseimbangan.
Hal ini sejalan dengan konsep keadilan dan keseimbangan yang ditegaskan dalam banyak ayat al-Qur’an sebagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu, seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi faham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsik membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam, misalnya pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari satu entitas. Pada tingkat tingkat teknis, hal ini tampak pada praktek mudharabah (lost and profit sharing), dimana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi sejajar secara adil yang pada akhirnya dapat menuju tingkat kesejahteraan manusia secara bersama.
Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi nepotisme, korupsi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia dan pelanggaran terhadap fatson ekonomi islam tentang keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran dikenal dengan julukan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205).
Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.
Itulah sebabnya ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh. Logikanya, jika hal seperti ini saja tidak diizinkan, sekalipun dalam kondisi perang dan di daerah musuh, maka tidak ada alasan untuk mengizinkannya pada saat damai dan di negeri sendiri. Dengan memikian, maka menghancurkan dan memusnahkan barang-barang yang telah diproduksi, baik dengan membakar atau membuangnya kelautan, dengan alasan agar harga barang itu tetap tinggi merupakan hal sangat di larang dalam teologi ekonomi Islam.
Islam menawarkan sebuah teologi bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi pelaku ekonomi Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain prilaku ekonomi dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta, disinilah focus dan substansi dari “Teologi Ekonomi dalam Islam”