ISLAM DAN PERDAMAIAN DUNIA (Mengurai Konflik di Tengah Perang)

Jun 27, 2025 | Artikel Islam

ISLAM DAN PERDAMAIAN DUNIA

(Mengurai Konflik di Tengah Perang)

Oleh :

Achmad Kholiq

(Guru Besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)

Pengantar

Dalam berbagai perdebatan global, Islam kerap kali disalahpahami sebagai agama yang identik dengan kekerasan dan konflik. Padahal, secara etimologis dan teologis, Islam justru berpijak pada akar kata as-silm yang bermakna damai, keselamatan, dan ketenteraman. Ajarannya yang universal mengusung nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan rekonsiliasi sebagai fondasi peradaban.

Dalam konteks dunia modern yang tengah dilanda perang bersenjata, polarisasi ideologi, dan krisis kemanusiaan, Islam memiliki kontribusi penting dalam membangun kerangka perdamaian global yang berkeadilan.

Tulisan ini berupaya menelaah secara akademik prinsip-prinsip perdamaian dalam Islam, relevansinya dengan tantangan kontemporer, serta strategi nyata yang ditawarkan Islam dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan manusiawi.

Dunia dalam Konflik dan Kekerasan

Dunia kontemporer berada dalam pusaran konflik yang meluas dan berlapis, mencerminkan kegagalan kolektif umat manusia dalam mewujudkan perdamaian yang berkeadilan. Meski banyak negara dan institusi global mendeklarasikan komitmen terhadap perdamaian, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: perang bersenjata, konflik etnis, dan krisis kemanusiaan terus mewarnai berbagai kawasan dunia.

Perang yang berlangsung di Palestina akibat pendudukan Israel menjadi simbol global atas ketimpangan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan pembiaran internasional terhadap agresi yang terus terjadi. Sementara itu, ketegangan antara Iran dan Israel yang diwarnai aksi militer terbuka, serangan udara, dan konfrontasi proksi di kawasan Timur Tengah, semakin memperburuk stabilitas regional. Amerika Serikat sebagai kekuatan besar juga kerap tampil ambigu—di satu sisi mengusung diplomasi dan demokrasi, namun di sisi lain terlibat dalam intervensi militer dan penjualan senjata yang memperpanjang konflik di banyak negara.

Perang dan kekerasan bersenjata menimbulkan dampak destruktif multidimensional. Dalam perspektif kemanusiaan, perang menghancurkan kehidupan sipil, memicu gelombang pengungsian, kelaparan massal, dan runtuhnya sistem kesehatan serta pendidikan.

Anak-anak dan perempuan sering menjadi korban paling rentan dalam situasi ini. Peradaban pun turut hancur akibat pertempuran yang meluluhlantakkan infrastruktur, pusat-pusat ilmu, tempat ibadah, dan warisan budaya. Dalam konteks lingkungan, perang menyisakan kerusakan ekosistem jangka panjang: penggunaan senjata berat merusak tanah, air, dan udara, menciptakan bencana ekologis yang membahayakan keberlanjutan hidup generasi mendatang. Dengan kata lain, perang bukan hanya membunuh manusia secara fisik, tetapi juga membunuh masa depan.

Namun, konflik tidak selalu hadir dalam bentuk konfrontasi bersenjata. Dunia saat ini menyaksikan munculnya bentuk-bentuk perang non-fisik yang tak kalah merusak, yakni polarisasi ideologi, disinformasi digital, dan kekerasan struktural.

Polarisasi terjadi akibat pertarungan narasi antara ekstremisme agama, nasionalisme eksklusif, dan ideologi global yang saling berhadapan. Media sosial menjadi arena baru bagi penyebaran kebencian, hoaks, dan propaganda yang memperdalam jurang perpecahan sosial dan mengaburkan batas antara fakta dan manipulasi.

Kekerasan struktural—seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi sistemik, dan marjinalisasi kelompok tertentu—juga menjadi pemicu laten konflik yang seringkali tidak direspons secara serius oleh negara dan masyarakat internasional. Dalam konteks ini, damai bukan hanya absen dari perang, tetapi juga absennya ketidakadilan.

Lebih lanjut, kegagalan sistem internasional dalam menjaga perdamaian dunia menjadi kenyataan yang tak dapat diabaikan. Lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sering kali terhambat oleh kepentingan politik negara-negara besar, khususnya anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak veto. Akibatnya, banyak resolusi terkait konflik dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi mandul secara implementatif.

Solidaritas global yang seharusnya menjadi kekuatan moral dunia juga tampak melemah. Negara-negara lebih sibuk menjaga stabilitas domestik dan kepentingan ekonomi-politiknya masing-masing, ketimbang menggalang konsensus global untuk menghentikan kekerasan dan menyelamatkan korban. Dunia Islam pun sering kali terpecah dalam merespons isu-isu strategis seperti Palestina, Suriah, atau Rohingya, karena perbedaan ideologis, rivalitas politik, atau ketergantungan ekonomi terhadap kekuatan global.

Situasi ini menuntut refleksi mendalam tentang makna dan jalan perdamaian. Perdamaian tidak bisa hanya didefinisikan sebagai tidak adanya perang, tetapi sebagai hadirnya keadilan, dialog, dan penghormatan terhadap harkat manusia. Dalam konteks inilah, diperlukan paradigma baru yang berbasis pada etika global, nilai-nilai spiritual, dan keberanian kolektif untuk menolak kekerasan dalam bentuk apapun. Islam, bersama ajaran kemanusiaan universal lainnya, menawarkan fondasi moral untuk membangun perdamaian yang bukan hanya retoris, melainkan substantif dan berkelanjutan.

Makna Perdamaian dalam Islam dan Kemanusiaan

Perdamaian dalam pandangan Islam bukan hanya merupakan kondisi sosial yang bebas dari konflik dan kekerasan, tetapi sebuah prinsip fundamental yang menjiwai seluruh dimensi kehidupan—spiritual, sosial, politik, dan kemanusiaan.

Akar linguistik dari kata Islam sendiri berkaitan erat dengan as-silm (السِّلْم), yang bermakna damai, keselamatan, dan ketenteraman. Hal ini menandakan bahwa misi utama ajaran Islam adalah menebarkan kedamaian, bukan menciptakan ketegangan. Dalam Al-Qur’an, kata as-silm muncul dalam berbagai bentuk, antara lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Yā ayyuhā alladhīna āmanū udkhulū fī al-silmi kāffah…” (“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh”), yang oleh banyak mufassir juga diartikan sebagai perintah untuk menginternalisasi perdamaian secara menyeluruh dalam kehidupan. Demikian pula dalam QS. Al-Anfāl [8]: 61, Allah menyerukan: “Wa in janahū li al-s-silmi fajnahlahā…” (Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya).

۞ وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Konsep perdamaian dalam Islam tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dalam kerangka maqāid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Salah satu maqāṣid utama adalah if al-nafs (melindungi jiwa manusia), yang secara langsung menolak kekerasan dan perang yang menumpahkan darah tanpa sebab yang dibenarkan. Islam juga menjunjung tinggi nilai al-‘adl (keadilan), al-ramah (kasih sayang), dan al-ul (rekonsiliasi). Tanpa keadilan, perdamaian hanyalah ilusi yang menutupi ketimpangan dan dominasi; tanpa rahmah, perdamaian akan kehilangan wajah kemanusiaannya; dan tanpa rekonsiliasi, luka-luka sejarah akan terus berdarah dan menjadi bahan bakar konflik baru. Oleh karena itu, Islam menempatkan perdamaian sebagai ekspresi utuh dari misi profetik: rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107).

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dalam perspektif universal, perdamaian adalah cita ideal umat manusia yang tidak boleh direduksi hanya pada ketiadaan peperangan. Perdamaian sejati harus mencakup jaminan terhadap hak-hak dasar manusia, martabat, dan kebebasan berekspresi dalam koridor etika. Ini selaras dengan prinsip-prinsip dasar deklarasi hak asasi manusia dan ajaran moral semua agama besar. Dalam konteks inilah, Islam memiliki kontribusi besar dalam membangun pemahaman bahwa damai bukan berarti diam terhadap kezaliman, melainkan aktif mendorong keadilan sosial, politik yang adil, dan perlindungan kelompok rentan. Perdamaian adalah proyek keadilan kolektif, bukan konsensus palsu yang dibangun di atas penderitaan.

Teladan Rasulullah ﷺ dalam membangun perdamaian menjadi bukti konkret dari visi Islam tentang tata dunia yang damai dan beradab. Perjanjian Hudaibiyah (Sulḥ al-Ḥudaybiyyah) merupakan contoh nyata bagaimana Rasulullah mengedepankan pendekatan diplomatik, meskipun isi perjanjian tersebut secara sepintas terlihat merugikan umat Islam. Namun dalam jangka panjang, perjanjian itu menciptakan ruang dialog dan meredakan konflik, yang kemudian menjadi jalan pembuka bagi tersebarnya Islam secara damai.

Rasulullah juga menunjukkan keteladanan dalam sikapnya terhadap musuh-musuh yang telah menyerangnya: beliau tidak pernah membalas dengan dendam, melainkan menawarkan amnesti, seperti yang terjadi saat penaklukan Makkah. Beliau selalu mengedepankan rekonsiliasi, menolak provokasi perang, dan memprioritaskan penyelesaian damai yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam dunia yang terus dilanda kekerasan dan perpecahan, paradigma perdamaian Islam menawarkan pendekatan yang menyeluruh, berakar pada nilai-nilai spiritual dan rasional. Ia tidak hanya menuntut penghentian perang, tetapi juga mendesak kehadiran struktur sosial-politik yang adil, penguatan institusi etis, serta keberanian moral untuk memaafkan dan berdialog. Oleh karena itu, perdamaian menurut Islam tidak boleh dibatasi dalam batas negara atau agama, melainkan harus menjadi komitmen lintas batas demi mewujudkan rahmatan lil-‘ālamīn—rahmat bagi seluruh umat manusia.

Menata Strategi Menuju Perdamaian Global

Dalam menghadapi kenyataan dunia yang sarat konflik, ketimpangan, dan ketegangan geopolitik, upaya mewujudkan perdamaian global tidak dapat lagi bergantung pada pendekatan militeristik atau diplomasi formal semata. Strategi menuju perdamaian harus ditata ulang secara sistemik, berkelanjutan, dan berbasis nilai, dengan melibatkan aktor-aktor sosial yang lebih luas.

Salah satu strategi utama yang sangat mendasar adalah pembangunan budaya damai melalui jalur pendidikan, media, dan dakwah. Pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai perdamaian sejak usia dini mampu membentuk karakter yang toleran, empatik, dan terbuka terhadap perbedaan. Kurikulum yang menanamkan etika dialog, keadilan sosial, serta kesadaran global merupakan instrumen utama dalam mencegah benih kekerasan.

Di era digital, media massa dan media sosial memainkan peran signifikan dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, perlu ada transformasi dalam narasi media, dari eksploitasi konflik menuju narasi yang membangun harmoni dan rekonsiliasi. Demikian pula, dakwah yang menyejukkan, inklusif, dan berbasis nilai-nilai rahmah sangat penting dalam mengatasi radikalisme dan kebencian berbasis agama.

Perdamaian global tidak akan terwujud jika hanya bertumpu pada aktor negara atau elit politik. Diperlukan sinergi antara agama, negara, dan masyarakat sipil sebagai tiga pilar strategis dalam mencegah konflik dan menyembuhkan luka pascaperang.

  • Agama memiliki kekuatan simbolik dan spiritual untuk menenangkan jiwa yang dilanda trauma, mendorong pemaafan, dan membangun rekonsiliasi yang mendalam. Namun, potensi ini hanya bisa diwujudkan jika agama dikelola dalam kerangka moderasi dan anti-kekerasan.
  • Negara memiliki mandat hukum dan politik untuk menciptakan sistem yang adil, menegakkan supremasi hukum, dan menjamin hak asasi manusia. Negara juga harus menjadi fasilitator dialog antar kelompok, bukan sekadar aparat kekuasaan yang memihak.

Sementara itu, masyarakat sipil memiliki kekuatan akar rumput dalam membangun jejaring solidaritas, memulihkan kehidupan sosial, serta menjadi penghubung antara komunitas yang terpecah. Ketiganya harus bergerak dalam koordinasi, dengan satu visi: menciptakan tatanan dunia yang damai dan manusiawi.

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai perdamaian, memiliki tawaran strategis dalam ranah diplomasi internasional. Sejarah mencatat bahwa sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga kekhalifahan klasik, diplomasi Islam memainkan peran penting dalam membangun hubungan antarbangsa yang tidak selalu ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan melalui perjanjian damai, aliansi strategis, dan koeksistensi yang adil.

Dalam konteks kontemporer, strategi diplomasi Islam harus bergerak dari semangat solidaritas umat yang eksklusif ke arah advokasi global yang inklusif. Solidaritas terhadap sesama Muslim tetap penting, terutama dalam menghadapi penindasan seperti di Palestina, Iran dan Israel serta negara lainnya. Namun solidaritas ini harus dikembangkan menjadi advokasi moral yang menjangkau semua bangsa tertindas, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis.

Organisasi-organisasi dunia Islam seperti OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), MUI, dan ormas Islam dunia, dapat memainkan peran strategis dalam menyuarakan keadilan global, menekan aktor-aktor konflik, dan menjadi jembatan bagi resolusi damai.

Strategi menuju perdamaian global dalam pandangan Islam bukan hanya tugas politis, tetapi merupakan manifestasi dari tanggung jawab moral dan spiritual. Dalam dunia yang saling terhubung dan saling bergantung, tidak ada satu bangsa atau agama yang bisa hidup damai sendirian.

Oleh karena itu, perdamaian harus dibangun melalui kolaborasi multi-level dan lintas-sektor, dimulai dari ruang pendidikan, dikukuhkan melalui kebijakan negara, diperkuat oleh peran agama yang menyejukkan, dan dikawal oleh diplomasi umat yang bersifat etis dan konstruktif. Inilah bentuk konkret dari rahmatan lil-‘ālamīn yang menjadi misi luhur Islam bagi dunia yang sedang mencari harapan.

Baca juga mengenai: Era Tinta Emas Kejayaan Islam Akankah Kembali?

Penutup

Islam bukan sekadar agama ibadah ritual, melainkan juga sistem nilai yang menempatkan perdamaian sebagai pilar utama dalam kehidupan pribadi, sosial, dan internasional.

Dalam dunia yang dipenuhi konflik dan ketidakadilan, ajaran Islam menawarkan visi damai yang berakar pada keadilan, rahmah, dan dialog. Melalui pendidikan, dakwah, diplomasi, serta peran aktif umat, nilai-nilai Islam dapat menjadi fondasi kuat bagi terciptanya tatanan dunia yang lebih adil, harmonis, dan berperikemanusiaan.

Kini saatnya umat Islam tidak hanya berbicara tentang perdamaian, tetapi juga hadir sebagai pelaku utama dalam mewujudkannya di tengah realitas global.

Cirebon, 27 Juni 2025

Achmad Kholiq

Follow Sosial Media At Taqwa :

Berita Terkait

Bacaan Doa Sholat Tahajud Lengkap dengan Terjemahannya

Bacaan Doa Sholat Tahajud Lengkap dengan Terjemahannya

Bacaan doa sholat tahajud sering jadi pelengkap di tengah malam yang sepi, saat hati butuh tenang dan jiwa ingin lebih dekat ka Gusti Allah. Tahajud itu ibadah sunah yang luar biasa, bisa jadi waktu paling istimewa buat curhat sama Allah tanpa gangguan. Ari urang...

Menahan Diri dari Menyakiti Sesama oleh H. Amin Iskandar, Lc., M.Ag (Pengurus At-Taqwa Centre / Kepala Rumah Tahfizh At-Taqwa)

Menahan Diri dari Menyakiti Sesama oleh H. Amin Iskandar, Lc., M.Ag (Pengurus At-Taqwa Centre / Kepala Rumah Tahfizh At-Taqwa)

MENAHAN DIRI DARI MENYAKITI SESAMA Oleh, Amin Iskandar, Lc, M.Ag (Ketua Rumah Tahfidz  Quran  At-Taqwa Kota Cirebon)   اَلْحَمْدُ لِلهِ رب العالمين. وَهُوَ الأَوَّلُ الَّذِي لَيْسَ قَبْلَهُ شَيْئ, وَهُوَ الآخِرُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ شَيْئ, وَهُوَ الظَّاهِرُ الَّذِي...

Pin It on Pinterest

Share This