KHUTBAH JUM’AT: Iedul Fitri & Misi Kemanusiaan oleh Dr. Halim Purnomo, M.Pd.I (Dosen UMY Jogyakarta)

Mei 20, 2021 | Berita, Kegiatan Attaqwa Cirebon

‘Iedul Fithri: Psikososial dan Spiritual

Saat ini air mata harapan dan doa terpanjantkan dari keluarga muslim dunia untuk saudara-saudara muslim di Palestina yang hingga saat ini belum merasakan “kemerdekaan” psikologis, social, agama, apalagi politik. Misi serangan Israel kepada masyarakat Palestina tidak lepas dari berbagai target tanpa menghiraukan rasa sakitnya yang dialami. Aspek humanis mungkin tidak semua masyarakat Israel menginginkan hal demikian adanya, tapi kebijakan politiknya yang memungkinkan terjadinya perang sepihak tanpa merasakan payah dan rasa sakitnya bangsa Palestina.  Mantan pilot angakat udara Israel, Yonathan Shapira   (www.cnnindonesia.com, edisi 18 mei 2021) mersa iba dengan masyarakat Palestina yang selalu tersakiti oleh “rudal-rudal” Israel sehingga memutuskan mengundurkan diri sebagai pilot angkatan udara Israel. Dunia sangat berharap kepada masyarakat Indonesia untuk berperan aktif pada misi kemerdekaan Palestina dari Israel. Dalam (kompas, 31 Agustus 2020) Indonesia pada Agustus 2020 menandai kali kedua dimana Indonesia berhak memimpin siding sebagai Presiden DK PBB dan suaranya didengar oleh negara-negara besar seperti Amerika, Tiongkok, Perancis, Rusia, dan Inggris. Berdasarkan informasi ini, maka peran serta bangsa kita sangat berarti untuk menentukan masa depan PALESTINA. Armando Christofel Wirajaya, Michael G. Nainggolan, Youla O. Aguw (2020) menjelaskan bahwa PBB telah menawarkan tempat serta sarana mediasi bagi konflik ini, keanggotaan negara – negara liga Arab dan Israel di PBB merupakan senjata terbesar bagi PBB untuk membawa upaya perdamaian konflik ini menjadi masalah Internasional yang diperhatikan oleh Dunia Internasional. Harapan besar semoga ini menjadi titik akhir penindasan warga Palestina berubah menjadi medan kebahagiaan dan keceriaan masyarakat Palestina. Jalaludin Rahmat (2016) menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan implementasi agama dengan kesadaran Ketuhanan. Maka atas dasar agama serta panggilan hati menjadi modal kuat untuk berkontribusi positif kepada sesama.

 

‘Iedul Fithri: Memupuk Gizi Spiritual     

Selama Ramadhan 1442 H seluruh hati, pikiran, tenaga bahkan waktu telah terpatri untuk memupuk spiritual Islam demi menggapai janji Allah SWT yang berupa predikat taqwa. Semua umat Islam berfashtabiqul khoirat mengumpulkan pundi-pundi investasi akhirat dengan berbagai ragam bentuk ibadah mulai dari ibadah maghdzah, ibadah ghoir maghdzah seperti ibadah sosial dan lainnya demi menjemput sebagaimana yang telah dijanjikan Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah, 183. Segala bentuk penguatan ibadah dalam bingkai memupuk gizi spiritual Islam selama bulan Ramadhan mampu menghidupkan dan menambah energi untuk selalu berkontribusi positif dalam segala hal tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. Rokib (2011) menjelaskan bahwa spiritualitas sangat penting bagi kehidupan mulai dari aktivitas bekerja sampai dengan kapasitasnya sebagai profesi tertentu. Aktivitas ibadah selama Ramadhan penulis anggap sebagai pemupukan gizi spiritual Islam sehingga dapat dijadikan sebagai modal keberlangsungan berfastabiqul khoirat pada bulan-bulan berikutnya. World Health Organization (WHO) membingkai indicator spiritualitas menjadi empat bagian: 1) sehat fisik, 2) sehat psikis, 3) sehat social, dan 4) sehat spiritual. Dalam konteks ini sehat social bisa diwujudkan pada perasaan kepekaan social maupun psikologis terhadap apa yang dialami oleh bangsa Palestina.

Sulaiman dan Nur Islah Uwen (2020) menjelaskan bahwa kematangan spiritualitas seseorang termasuk kematangan spiritualitas keagamaan merupakan salah satu bentuk kesejahteraan dan kebahagiaan tersendiri bagi seseorang. Kepekaan social dan psikologis yang ditunjukkan oleh muslim dunia kepada masyarakat Palestina merupakan bagian dari wujud nyata spirit panggilan hati dan tanggung jawab moral. Ini mengandung nilai spiritual psikologis maupun social bagi masyarakat Indonesia yang care dengan kondisi yang dialami sekaligus wujud perasaan keterhubungan transendensi dengan sang pencipta. Sisi lain juga sebagai bentuk implementasi partisipatif untuk rasa bahagia maupun susahnya yang dialami masyarakat Palestina. Seandainya kekuatan batuan moril maupun lainnya kepada bangsa Palestina diterjemahkan ke dalam sebuah kematangan spiritual, maka ibadah social seperti ini dapat menjadi modal besar bagi kebahagiaan manusia.

Sisi kejiwaan manusia menjadi bagian penting dari emosional yang berupa totalitas itu sendiri. Hampir setiap setiap tingkah laku kita punya keterkaitan tertentu dengan emosi. Menurut James, faktor yang penting dalam emosi adalah umpan balik dari perubahan badani yang terjadi sebagai respon terhadap situasi yang menakutkan dan membingungkan. Biasa orang menyadari adanya suatu yang sedang terjadi secara internal ketika mereka marah, bingung, gembira, takut, tetapi mereka tidak dapat mengamati perubahan pada tekanan darah atau aktivitas di dalam perut mereka (Ardani, 2008). Secara aplikatif mengajarkan bagaimana mengendalikan emosi agar melahirkan suatu kecerdasan baru yakni kecerdasan emosional. Contohnya Nabi Muhammad saw. Mengajarkan bagaimana meningkatkan kepekaan psikologis dan mengendalikan diri dari emosi marah. Salah satu faktor peredam kemarahan adalah relaksasi tubuh dan melepaskan ketegangan. Duduk dan berbaring pada saat marah dapat mengendorkan kondisi tubuh dan bisa mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh rasa marah, (Muhammad Utsman Najati, 2005). Emosional berfungsi mengarahkan tingkah laku seperti halnya dorongan. Emosi takut, misalnya, akan mendorong untuk mempertahankan diri, terkadang juga mendorongnya bersikap memusuhi. Adapun emosi cinta mendorongnya untuk mendekati obyek yang dicintainya seperti cinta membantu sesama. Alqur’an sendiri menggambarkan berbagai macam-macam emosional yang dirasakan manusia. Seperti cinta, takut, marah benci, sedih, malu, iri, cemburu, dan sombong.

Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan memupuk rasa cinta, kepekaan social dan kepekaan psikologis perlu dilatih secara terus menerus yang diejawantahkan dalam teologi al-Maun tentang bgaimana orang lain dapat merasakan uluran tangan dan bantuan kita. Atau arti lain bahwa keberadaan kita harus mampu memberi manfaat untuk orang lain (khoirunnaas anfa’uhum linnaas). Semoga catatan kecil ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

 

 

Follow Sosial Media At Taqwa :

Berita Terkait

Pin It on Pinterest

Share This